K3 sebagai Bagian dari Grand Design Budaya Keselamatan Bangsa
Gerakan Efektif Masyarakan Membudayakan K3 (GEMA DAYA K3).
Apakah
yang dilakukan pemerintah dalam mencanangkan tahun budaya K3 hanya
sekedar jargon dan pelaksanaan bulan K3 selama ini hanya sekedar
seremonial belaka?
Tingkat
tingkat kefektivitasan dari gerakan tersebut dapat dibuktikan dengan
melihat data-data yang ada. Statistik kecelakaan kerja di industri dapat
menjadi acuan awal untuk menganalisa tingkat keefektivitasan GEMA DAYA
K3 selama ini. Bagaimana perbandingan statistik jumlah kecelakaan,
tingkat keparahan, jumlah korban dan nilai kerugian dari tahun 2010-2014
dapat menjadi kajian lebih lanjut.
Sumbangsih budaya K3 bangsa dengan budaya keselamatan bangsa
Saat
di bangku sekolah dulu, budaya diartikan sebagai sebuah singkatan dari
budi dan daya. Penulis bukanlah ahli bahasa yang dapat menggali lebih
dalam lagi dalam hal ini. Budaya adalah hal yang tidak dapat dipaksakan
berubah dalam waktu singkat. Budaya terbentuk dari pemikiran yang
diwujudkan dengan perkataan dan implementasi dan tindakan yang nyata.
Tindakan itu menjadi kebiasaan dan gaya hidup yang jika dilakukan terus
menerus secara konsisten maka akan membentuk budaya.
Pemerintah
haruslah mempunyai tujuan dan gerakan yang lebih besar daripada
memajukan budaya K3 yaitu memajukan budaya keselamatan (safety culture)
secara keseluruhan. Permasalahan K3 hanyalah tantangan kecil dari grand design budaya keselamatan di Indonesia. Masih terlihan kurangnya perhatian umum dan pemerintah akan masalah ini.
Saya
hanya bisa menebak tujuan pemerintah bahwa dengan berhasilnya budaya K3
di perusahaan akan menularkan budaya keselamatan di Indonesia. Semoga
hal itu menjadi tujuan pemerintah. Tujuannya adalah bahwa nilai dan
prinsip keselamatan yang didapat pegawai dan pekerja di perusahaan dapat
dibawa pulang dan diterapkan di perjalanan maupun di rumah.
Namun
kebiasaan pekerja di tempat kerja kerap kali tidak mencerminkan
kebiasaan dan perilakunya di luar tempat kerja. Pekerja yang mematuhi
peraturan K3 di perusahaanhanya karena takut terkena sanksi
atau berprestasi buruk maka tidak jadi jaminan akan mempraktekkan
prinsip-prinsip keselamatan di rumah atau saat berkendara. Mereka tetap
melanggar rambu lalu lintas, membahayakan keselamatan sesama pengendara,
tidak memakai helm atau seatbelt. Mereka cuek terhadap bahaya yang ada
di rumah mereka walaupun mengancam keselamatan keluarga mereka.
Orang
kerap kali menjalankan peraturan K3 di perusahaan karena adanya sanksi
yang ketat jika melanggarnya. Yang dapat berujung pada sanksi pemecatan.
Dan juga dalam sistem manajemen K3 yang baik terdapat pengenalan dan
penghargaan (recognition & reward) bagi pegawai yang melaksanakan pekerjaannya dengan standar K3 yang lebih. Konsep pendekatan reward & punishment atau pendekatan stick & carrot ini salah satu sebab berhasil ditegakkannya peraturan K3 di sejumlah perusahaan.
Jika
diperhatikan argumen ini berhubungan dengan rendahnya kesadaran
keselamatan diri dan keluarga di masyarakat. Ketidakpatuhan masyarakat
pada UU Lalu Lintas tahun 2009 yang banyak mengatur tentang keselamatan
berkendara dan di jalan raya, atau UU kereta api sebagian besar
disebabkan karena lemahnya penegakan hukum. Masyarakat juga masih rendah
pengetahuannya tentang keselamatan di rumah (home safety) yang
ditunjukkan dengan banyaknya berita tentang kebakaran karena arus
pendek, karena lupa mematikan kompor, mencabut sambungan listrik dari
socket dan lain-lain. Juga ketidakpedulian berkendara dengan selamat di
jalan.
Idealnya jika
seorang pegawai bekerja di perusahaan dengan sistem manajemen K3 (SMK3)
yang baik seharusnya dapat membawa prinsip dan kebiasaan bagus itu ke
keluarga dan masyarakat di sekitarnya. Ia harus menjadi agent of change untuk keselamatan. Minimal konsep bahaya dan resiko yang telah didapatnya di perusahaan.
Untuk itulah budaya K3 seharusnya dimulai dari edukasi ke masyarakat seiring dengan penegakan peraturannya.
Penerapan budaya keselamatan di masyarakat
Pemerintah
haruslah mempunyai konsep yang jelas untuk budaya keselamatan
Indonesia. Kebijakan dan langkah pemerintah harus meliputi :
1. Edukasi formal dan informal.
Edukasi
formal dengan memasukkan konsep-konsep safety ke dalam kurikulum.
Anak-anak kita sedini mungkin diberikan pengertian mengenai konsep
bahaya, resiko dan mitigasinya. Banyak kejadian di luar negeri anak
berumur 6-8 tahun yang jadi pahlawan keluarga menyelamatkan keluarganya
dari kebakaran karena dia ingat pelajaran safety yang diterimanya di
sekolah.
Edukasi informal
dapat dibantu oleh masyarakat luas. Jejaring dan media sosial telah
terbukti dapat menggerakkan komunitas dan masyarakat. Kekuatannya sudah
teruji bahkan dapat meruntuhkan satu pemerintahan dengan revolusi.
Pihak media cetak dan elektronik juga dapat membahas dan meliput lebih banyak lagi tentang topik ini.
Gerakan
menyelamatkan lingkungan dengan Go Green telah terbukti mendapat
perhatian yang serius, saya yakin safety akan menjadi fokus gerakan
berikutnya.
2. Peraturan dan penegakan peraturan.
Peraturan
seperti UU Lalu Lintas no 22 tahun 2009 dan UU no 23 tahun 2007 tentang
perkeretaapian, UU 1 tahun 2009 tentang penerbangan dan UU lain sampai
saat ini sudah lumayan. Namunharus dilihat di sektor mana lagi peraturan
kurang memadai. UU no 1 tahun 1970 tentang keselamatan dan kesehatan
tenaga kerja sudah cukup tetapi dendanya yang masih Rp.100.000 untuk
perusahaan pelanggar harus segera direvisi. Yang lebih terpenting lagi
selain mengamandemen dan membuat RUU adalah penegakannya. Penegakan
hukum yang tegas dan konsisten memang masih menjadi sumber dari banyak
masalah di negara kita.
Budaya
keselamatan bangsa harusnya menjadi target pemerintah dibantu dengan
partisipasi swasta dan masyarakat agar kesadaran akan keselamatan dengan
beriringan dengan kesadaran akan kesehatan dan juga penyelamatan
lingkungan.
sumber : http://m.kompasiana.com/user/profile/bsafe
Comments
Post a Comment